Wajib Bahasa Inggris di SD: Fast Track Atau Salah Jalan? Menimbang Kesiapan Guru, Kurikulum, dan Psikologi Anak
Halo Sobat Edukasi! 👋
Beberapa waktu lalu, jagat pendidikan kita dikejutkan dengan rencana ambisius dari Kemendikdasmen: mewajibkan Bahasa Inggris sebagai mata pelajaran (mapel) di sekolah dasar (SD) mulai tahun depan.
Sekilas, ide ini terdengar keren dan futuristik. Siapa coba yang tidak mau anaknya jago bahasa internasional sejak dini? Ini seolah janji fast track menuju generasi global. Namun, jika kita kupas lebih dalam, kebijakan ini menyimpan segudang pertanyaan besar—terutama soal kesiapan, implementasi, dan dampaknya pada psikologi belajar anak.
Yuk, kita bedah opini ini dengan kacamata ilmiah dan pandangan para ahli!
Mengapa Bahasa Inggris Wajib di SD? Misi Global dan Golden Age
Argumen utama di balik kebijakan ini adalah pengakuan bahwa Bahasa Inggris adalah kunci komunikasi global dan perlu diajarkan pada masa golden age (usia emas) anak, yaitu 0 hingga 8 tahun, saat kemampuan menyerap bahasa sedang tinggi-tingginya.
Pakar Linguistik, Prof. David Crystal, selalu menekankan bahwa paparan bahasa asing sejak dini dapat meningkatkan fleksibilitas kognitif anak (Crystal, 2010). Anak yang bilingual cenderung lebih mudah beralih fokus dan memiliki daya analisis bahasa yang lebih baik.
Di atas kertas, semua tampak ideal. Masalah muncul saat kita turun ke lapangan, yaitu di ruang kelas SD.
Tantangan Lapangan: Guru, Bukan Sekadar Mapel Tambahan
Di sinilah letak kerikil tajam yang paling besar: Ketersediaan dan Kompetensi Guru.
Saat ini, guru SD di Indonesia sebagian besar adalah guru kelas dengan latar belakang pendidikan umum, bukan spesialis Bahasa Inggris.
Dr. Endang Poerwanti (Pakar Pendidikan Guru) sering menyoroti bahwa kurikulum sehebat apa pun akan gagal jika guru tidak siap (Poerwanti, 2019). Mewajibkan Bahasa Inggris berarti harus menyediakan ribuan guru spesialis atau melatih jutaan guru kelas yang sudah dibebani dengan Kurikulum Merdeka.
Jika kebijakan ini dipaksakan dengan mengandalkan guru kelas yang kemampuan Bahasa Inggris-nya minim, yang terjadi bukanlah penguasaan bahasa, melainkan:
Metode Monoton: Pembelajaran Bahasa Inggris akan didominasi oleh penghafalan kosakata, bukan komunikasi interaktif.
Kecemasan Guru: Guru yang tidak percaya diri akan menghindari praktik komunikasi, yang justru merupakan esensi belajar bahasa.
Kecemasan Siswa: Siswa berisiko mengembangkan kecemasan terhadap bahasa asing karena metode yang kurang menyenangkan atau guru yang kurang kompeten.
Opini Psikologi Perkembangan: Bahasa Ibu adalah Pondasi Utama
Aspek psikologis anak juga tak kalah penting. Usia SD adalah masa krusial bagi anak untuk memantapkan pemahaman dan penguasaan Bahasa Ibu (Bahasa Indonesia) sebagai fondasi kognitif dan identitas mereka.
Prof. Jim Cummins (Pakar Psikolinguistik) memperkenalkan teori Interdependence Hypothesis yang menyatakan bahwa kompetensi dalam bahasa pertama (L1) akan mendukung pembelajaran bahasa kedua (L2) (Cummins, 2000).
Artinya, jika fondasi Bahasa Indonesia anak belum kuat—termasuk kemampuan literasi dan berpikir kritis dalam L1—maka memaksakan L2 (Bahasa Inggris) justru bisa mengganggu proses perkembangan kognitif dan penguasaan konsep dasar.
Bahasa Inggris seharusnya menjadi pelengkap, bukan beban yang menggerus waktu belajar untuk literasi, numerasi, dan pendidikan karakter.
Solusi Win-Win: Bukan Wajib, Tapi Exposure yang Menyenangkan
Alih-alih mewajibkan sebagai mapel formal, banyak ahli menyarankan pendekatan yang lebih halus dan kontekstual:
Ekstrakurikuler atau Co-Kurikuler: Jadikan Bahasa Inggris sebagai kegiatan yang menyenangkan, berbasis permainan, lagu, atau cerita (metode Total Physical Response atau Storytelling).
Integrasi Tematik: Masukkan kosakata Bahasa Inggris ke dalam pelajaran tematik (misalnya, menghitung dalam Bahasa Inggris di pelajaran Matematika).
Pelatihan Guru Terstruktur: Fokuskan anggaran bukan pada mandat kurikulum, tetapi pada pelatihan intensif untuk meningkatkan kemampuan komunikasi guru kelas.
Menurut UNESCO, kebijakan bahasa di sekolah dasar harus sensitif terhadap konteks lokal dan tidak boleh mengancam status bahasa ibu anak (UNESCO, 2003). Pendekatan yang fun dan integratif jauh lebih efektif bagi anak usia SD daripada kurikulum mapel formal.
Penutup: Mari Berpikir Jangka Panjang
Sobat Edukasi, memiliki generasi yang mahir Bahasa Inggris adalah impian kita semua. Tapi, membuat kebijakan pendidikan itu ibarat menanam pohon. Kita harus memastikan akarnya kuat (Bahasa Indonesia), bibitnya sehat (guru yang kompeten), dan lahannya subur (kurikulum yang fleksibel).
Memaksakan "wajib" Bahasa Inggris tanpa kesiapan infrastruktur dan guru hanya akan menghasilkan kegagalan massal dan trauma belajar bagi anak-anak. Mari dorong Kemendikdasmen untuk mengganti mandat menjadi fasilitasi, sehingga Bahasa Inggris hadir di SD sebagai pemicu keceriaan belajar, bukan beban baru.
Ingat: tujuan pendidikan adalah mencerdaskan, bukan sekadar mengganti kurikulum.

Posting Komentar untuk "Wajib Bahasa Inggris di SD: Fast Track Atau Salah Jalan? Menimbang Kesiapan Guru, Kurikulum, dan Psikologi Anak"